Halaman

Senin, 28 November 2016

TRAGEDI ROHINGYA DALAM PERSPEKTIF HAM DAN HUMANITER INTERNASIONAL



 [Peace can only last where human rights are respected ... ~ Dalai Lama]


Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan sebuah istilah dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pelangaran Hak Asasi Manusia berupa pembatasan hak – hak sebagai manusia dan atau pembunuhan masal dengan penyiksaan. Diatur  dalam  Statuta  Roma  dan  diadopsi  dalam  Undang-undang  No.  26  Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut undang-undang tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian  dari  serangan  yang  meluas  atau  sistematik  yang  diketahuinya  bahwa serangan  tersebut  ditujukan  secara  langsung  terdapat  penduduk  sipil.  Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat  yang  berada  dalam  yurisdiksi  International  Criminal  Court.  Pelanggaran HAM berat lainnya ialah Genosida, Kejahatan perang dan kejahatan agresi.[1]


Dalam Hukum Humaniter Internasional (International Humanity Law) apa yang menimpa  etnis Rohingya di Myanmar digolongkan kedalam sengketa bersenjata non-internasional. Dalam kasus yang terjadi  pada etnis Rohingya dimana kasus ini digolongkan sebagai sengketa bersenjata non-internasional, yang berarti semua pihak yang terlibat harus tunduk pada aturan – aturan Hukum Humaniter Internasional, namun yang terjadi pada etnis Rohingya justru pelanggaran terhadap semua prinsip – prinsip dan aturan – aturan Hukum Humaniter International, yaitu humanity, proportionality, distinction, dan prohibition of causing unnecessary suffering. Sehingga menyebabkan keadaan tidak dapat dikendalikan dan berujung pada genosida yang merenggut ratusan ribu jiwa.[2]

Undang – Undang Kewarganegaraan Burma (Myanmar) tahun 1982 telah meniadakan Rohingya sebagai etnis yang diakui di Myanmar. Dengan tidak diakuinya etnis Rohingya oleh pemerintah Myanmar menyebabkan adanya batasan – batasan serta hilangnya hak – hak etnis Rohingya untuk bergerak bebas, berpindah tepat, menikah, berusaha, beribadah, serta hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan.

Hilang dan serta tidak diakuinya etnis Rohingya dalam Undang – Undang Kewarganegaran Burma (Myanmar) tahun 1982, dipandang sebagai pelanggaran terhadap Konvensi tentang kewarganegaraan. Setiap Negara berkewajiban untuk memberikan jaminan kewarganegaraan sehingga tidak dijumpai adanya penduduk tanpa kewarganegaraan (stateless) (Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Consular Relation Concerning Acquisition of  Nationality 1963). Pemerintah Myanmar yang membiarkan penduduk Rohingya tidak memiliki identitas kewarganegaraan (stateless), jelas melanggar karena mereka telah berabad-abad bertempat tinggal di Myanmar.[3]

Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dilakukan oleh rezim pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya berupa pembiaran terhadap pembunuhan massal dan sewenang-wenang; pemerkosaan; penyitaan tanah dan bangunan; penyiksaan; kerja paksa dan perbudakan. Saat ini ada 1,5 juta orang Rohingya yang terusir dan tinggal terlunta-lunta di luar daerah Arakan (Myanmar). Kebanyakan mereka mengungsi di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, Malaysia, Thailand, Indonesia dan lain-lain.

Yang memprihatinkan, President Myanmar Thein Sein menyatakan bahwa Ia menginginkan supaya etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga yang mau menampungnya. Bahkan pemimpin oposisi Burma Aung San Suu Kyi tetap diam tak bereaksi terhadap kasus Rohingya. Systematical operational yang dijalankan pemerintah untuk mengeliminasi etnis Rohingya adalah dengan melibatkan kelompok ekstrimis Budha. Kelompok ekstrimis ini dalam perjalanannya telah mengancam dan melanggar hak asasi manusia etnis - etnis minoritas di Myanmar, terutama etnis Rohingya. [4]

Sejarah mencatat, telah terjadi Rohingya’s Massacre dimana 1,3 juta Rohingya telah ditolak kewarganegaraan dan dilucuti semua hak. Mereka terpaksa hidup dalam kondisi Apartheid di mana mereka tidak dapat melakukan perjalanan, bekerja atau bahkan menikah tanpa izin. Lebih dari 140.000 dipaksa ke kamp-kamp konsentrasi setelah rumah dan desa mereka dibakar ke tanah pada tahun 2012 sampai saat ini.[5] Hal tersebut pembersihan etnis (ethnical cleansing) yang merupakan bentuk kejahatan genosida (genocide) yang termasuk sebagai pelanggaran HAM berat dalam Hukum Internasional serta termasuk kedalam kejahatan International (International Crime).

Perserikatan Bangsa – Bangsa (United Nations) tidak dapat mencegah perlakuan diskriminatif pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, dikarenakan Myanmar sebagai anggota PBB belum meratifikasi konvenan – konvenan penting tentang Hak Asasi Manusia. Namun sebagai anggota dari PBB, Myanmar berkewajiban untuk menghormati ketentuan – ketentuan yang ada dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan piagam PBB.[6]


Dibuat : M. Nur Ardhy
NIM   : 1111141446
MK    : Hukum Humaniter Internasional

[1] Doortje D. Turangan. Tindakan Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional. Karya Ilmiah. Univ. Sam Ratulangi. Manado. 2011. Halm.1
[2] Yustika Nuraysha, dkk. Jenis-Jenis Sengketa Bersenjata Dan Implikasinya Dalam Hubungan Internasional Dan Pemberlakukan Hukum Humaniter Internasional. https://www.academia.edu/7003139/Hukum_Humaniter_Bab_3. diakses tanggal 26 November 2016.
[3] Yustika Nuraysha. Ibid.

[4] Hera Susanti. Analisa Terhadap Kasus Rohingya. http://mutiarabidadarisurga.blogspot.co.id/2014/05/analisa-terhadap-kasus-rohingya.html. Diakses 27 November 2016.

[6] Hera Susanti. op.cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar