[Peace can only last where human rights are respected ... ~ Dalai Lama]
Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan
sebuah istilah dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pelangaran
Hak Asasi Manusia berupa pembatasan hak – hak sebagai manusia dan atau pembunuhan
masal dengan penyiksaan. Diatur
dalam Statuta Roma
dan diadopsi dalam
Undang-undang No. 26 Tahun
2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut undang-undang
tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma, definisi
kejahatan terhadap kemanusiaan ialah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas
atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung
terdapat penduduk sipil.
Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran
HAM berat yang berada
dalam yurisdiksi International
Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah Genosida,
Kejahatan perang dan kejahatan agresi.[1]
Dalam Hukum Humaniter Internasional (International Humanity Law) apa yang menimpa
etnis Rohingya di Myanmar digolongkan
kedalam sengketa bersenjata non-internasional. Dalam kasus yang terjadi pada etnis Rohingya dimana kasus ini
digolongkan sebagai sengketa bersenjata non-internasional, yang berarti semua
pihak yang terlibat harus tunduk pada aturan – aturan Hukum Humaniter
Internasional, namun yang terjadi pada etnis Rohingya justru pelanggaran
terhadap semua prinsip – prinsip dan aturan – aturan Hukum Humaniter
International, yaitu humanity,
proportionality, distinction, dan prohibition
of causing unnecessary suffering. Sehingga menyebabkan keadaan tidak dapat
dikendalikan dan berujung pada genosida yang merenggut ratusan ribu jiwa.[2]
Undang – Undang Kewarganegaraan Burma (Myanmar)
tahun 1982 telah meniadakan Rohingya sebagai etnis yang diakui di Myanmar. Dengan
tidak diakuinya etnis Rohingya oleh pemerintah Myanmar menyebabkan adanya
batasan – batasan serta hilangnya hak – hak etnis Rohingya untuk bergerak
bebas, berpindah tepat, menikah, berusaha, beribadah, serta hak untuk bebas
dari penyiksaan dan kekerasan.
Hilang dan serta tidak diakuinya etnis
Rohingya dalam Undang – Undang Kewarganegaran Burma (Myanmar) tahun 1982,
dipandang sebagai pelanggaran terhadap Konvensi tentang kewarganegaraan.
Setiap
Negara berkewajiban untuk memberikan
jaminan kewarganegaraan sehingga tidak dijumpai adanya penduduk tanpa kewarganegaraan (stateless) (Vienna
Convention on Consular Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Consular Relation Concerning
Acquisition of Nationality 1963). Pemerintah Myanmar yang
membiarkan penduduk Rohingya tidak memiliki identitas
kewarganegaraan (stateless), jelas
melanggar karena mereka telah berabad-abad bertempat tinggal di Myanmar.[3]
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crime against humanity) dilakukan
oleh rezim pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya berupa pembiaran terhadap pembunuhan
massal dan sewenang-wenang; pemerkosaan; penyitaan tanah dan bangunan;
penyiksaan; kerja paksa dan perbudakan. Saat ini ada 1,5 juta orang Rohingya
yang terusir dan tinggal terlunta-lunta di luar daerah Arakan (Myanmar).
Kebanyakan mereka mengungsi di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, Malaysia,
Thailand, Indonesia dan lain-lain.
Yang memprihatinkan, President Myanmar Thein Sein menyatakan bahwa Ia menginginkan
supaya etnis Rohingya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga
yang mau menampungnya. Bahkan pemimpin oposisi Burma Aung San Suu Kyi tetap diam tak bereaksi terhadap kasus Rohingya. Systematical
operational yang dijalankan pemerintah untuk mengeliminasi etnis Rohingya
adalah dengan melibatkan kelompok ekstrimis Budha. Kelompok ekstrimis ini dalam
perjalanannya telah mengancam dan melanggar hak asasi manusia etnis - etnis
minoritas di Myanmar, terutama etnis Rohingya.
[4]
Sejarah mencatat, telah terjadi Rohingya’s Massacre dimana 1,3 juta
Rohingya telah ditolak kewarganegaraan dan dilucuti semua hak. Mereka terpaksa
hidup dalam kondisi Apartheid di mana mereka tidak dapat melakukan perjalanan,
bekerja atau bahkan menikah tanpa izin. Lebih dari 140.000 dipaksa ke kamp-kamp
konsentrasi setelah rumah dan desa mereka dibakar ke tanah pada tahun 2012
sampai saat ini.[5]
Hal tersebut pembersihan etnis (ethnical
cleansing) yang merupakan bentuk kejahatan genosida (genocide) yang
termasuk sebagai pelanggaran HAM berat dalam Hukum Internasional serta termasuk
kedalam kejahatan International (International
Crime).
Perserikatan Bangsa – Bangsa (United Nations) tidak dapat mencegah
perlakuan diskriminatif pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, dikarenakan
Myanmar sebagai anggota PBB belum meratifikasi konvenan – konvenan penting
tentang Hak Asasi Manusia. Namun sebagai anggota dari PBB, Myanmar berkewajiban
untuk menghormati ketentuan – ketentuan yang ada dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan piagam PBB.[6]
Dibuat : M. Nur Ardhy
NIM : 1111141446
MK : Hukum Humaniter Internasional
[1] Doortje D. Turangan. Tindakan Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan
Hukum Internasional Dan Hukum Nasional. Karya Ilmiah. Univ. Sam Ratulangi.
Manado. 2011. Halm.1
[2] Yustika Nuraysha,
dkk. Jenis-Jenis
Sengketa Bersenjata Dan Implikasinya Dalam Hubungan Internasional Dan
Pemberlakukan Hukum Humaniter Internasional. https://www.academia.edu/7003139/Hukum_Humaniter_Bab_3.
diakses tanggal 26 November 2016.
[3] Yustika Nuraysha. Ibid.
[4] Hera Susanti. Analisa Terhadap Kasus Rohingya. http://mutiarabidadarisurga.blogspot.co.id/2014/05/analisa-terhadap-kasus-rohingya.html. Diakses 27 November 2016.
[5] http://endgenocide.org/conflict-areas/burma-backgrounder/.
Diakses 27 November 2016
[6] Hera Susanti. op.cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar