KUHAP telah merumuskan hak-hak tersangka/terdakwa
khususnya hak bantuan hukum, namun pada kenyataan dan realisasinya dalam
praktek dilapangan hak-hak tersebut sering kali terlupakan ataupun sering kali
terabaikan oleh pihak-pihak atau pejabat yang berwenang yang seharusnya memberi
tahu akan hak tersangka/terdakwa. Maupun menunjuk langsung penasehat hukum
karena perintah langsung undang-undang.
Seringkali ditemukan adanya terdakwa/tersangka yang
menolak hak mereka akan penasehat hukum dengan alasan biaya atau keuangan.
Padahal dengan jelas dan gamblang pasal 56 KUHAP memerintahkan kepada pejabat
berwenang pada tiap tingkat pemeriksaan untuk menunjuk penasihat hukum bagi
mereka yang “tidak mampu”.
Dengan keluarnya UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum, maka sudah tidak alasan lagi bagi untuk tidak memenuhi hak
tersangka/terdakwa untuk di dampingi oleh penasehat hukum. Hal ini sudah
menjadi kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak tersangka/terdakwa khususnya
hak bantuan hukum. Karena negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi hak-hak sipil dan politik warga negaranya
sesuai dengan International Covenant on
Civil and Political Rights yang dalam pasal 14 ayat 3d dikatakan bahwa
‘kepada tersangka/terdakwa diberikan jaminan “diadili dengan kehadiran
terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat
hukum menurut pilihannya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini, jika ia
tidak mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia jika
untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar
penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran.”
Selain adanya UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dalam UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, pada Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa seorang advokat/penasehat hukum dalam menjalankan profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya, yang artinya dalam menanganin sebuah perkara kliennya seorang advokat/penasehat hukum dilarang melihat apapun latar belakang kliennya.
Selain adanya UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dalam UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, pada Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa seorang advokat/penasehat hukum dalam menjalankan profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya, yang artinya dalam menanganin sebuah perkara kliennya seorang advokat/penasehat hukum dilarang melihat apapun latar belakang kliennya.
Dari
pembahasa diatas, dapat disimpulkan sangatlah penting
peranan penasihat hukum di dalam proses peradilan pidana guna terciptanya
peradilan khususnya peradilan pidana yang fair serta ‘berbobot’, karena dengan
adanya penasihat hukum sebagai counter-part dari
pihak penyidik maupun penuntut umum maka tentunya dapat mendorong keduanya
untuk melakukan tugasnya semaksimal mungkin.
Adanya Pasal 54 - Pasal 57 KUHAP ,UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak memenuhi hak-hak tersangka atau terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum, Agar tidak ada pelanggaran HAM serta penyimpangan dalam proses pemeriksaan sehingga dapat terciptanya keadilan dan tegaknya hukum yang sesuai dengan Asas Equality Before The Law.
Adanya Pasal 54 - Pasal 57 KUHAP ,UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak memenuhi hak-hak tersangka atau terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum, Agar tidak ada pelanggaran HAM serta penyimpangan dalam proses pemeriksaan sehingga dapat terciptanya keadilan dan tegaknya hukum yang sesuai dengan Asas Equality Before The Law.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar